Opini : oleh Ali Bin Dachlan
BUMI GoraMedia.com - Beberapa hari terakhir ini (awal Maret 2021), media Indonesia disibukkan dengan pemberitaan yang sangat menarik dan panas. Seorang yang berpangkat jendral purnawirawan dan berkedudukan tinggi sebagai Kepala Staf Kepresidenan telah merebut kedudukan tertinggi partai demokrat, dari pimpinannya yang sah, AHY yang juga sebagai putra Jendral Purnawirawan, bahkan mantan presiden RI dua priode.
Perebutan kekuasaan dalam sebuah partai, memang sering terjadi di Indonesia. Hampir semuanya ada unsur kekuasaan yang ikut campur. Ambil contoh perebutan kekuasaan partai Demokrasi Indonesia dibawah pimpinan Megawati yang direbut oleh Suriadi. Perebutan kekuasaan PPP dari Idham Chalid oleh J.Naro dari parmusi. Perebutan kekuasaan PKB dari Gus Dur oleh Muhaimin Iskandar. Tetapi perebutan ketua PD oleh Moeldoko agak berbeda, karena Moeldoko adalah sedang menjabat sebagai pejabat tinggi kepresidenan di Indonesia. Dari hal tersebut timbul rumor yang berkembang, bahwa kalangan istana mustahil tidak mengetahui hal tersebut.
Beberapa bulan sebelumnya, terjadi perebutan kekuasaan ketua umum partai berkarya dari pendirinya Hutomo mandala Putra oleh sekelompok orang dan dengan cepat pimpinan partai Berkarya pindah ke tangan Muchdi Pr, juga sebagai purnawirawan mayor jendral. Baik perebutan ketua Berkarya dan Ketua PD, keduanya dilakukan dengan cara yang sama yakni MLB (Musyawarah Luar Biasa). Anehnya yang melakukan musyawarah tersebut adalah orang orang yang sudah keluar atau dikeluarkan oleh partai tersebut, lalu alasan yang kedua, Menkum HAM dalam waktu sekejap mengakui kepengurusan kilat dari MLB tersebut. Sekali lagi layaklah orang kebanyakan berkesimpulan, bahwa MLB-MLB tersebut sudah dirancang dengan cermat baik oleh yang melakukan MLB dan pihak yang memiliki wewenang untuk mengesahkan setiap organisasi sosial politik di Indonesia. Bandingkanlah waktu yang diperlukan dalam mengesahkan organisasi MLB dan organisasi yang dilakukan dengan cara yang normal.
Wajar kiranya SBY sedih karena menyangkut nama baiknya sebagai petinggi partai dan anaknya sebagai ketua yang dipilih secara sah dalam kongres. Saya juga melihat kesedihan Gus Dur, ketika beliau tidak dihitung bersama putrinya mbak Yeni yang dididik untuk meneruskan partai yang didirikannya, namun beliau sebagai seorang pemimpin besar, tidak peduli, apalagi sebagai pemimpin partai, sebagai presiden RI yang diturunkanpun beliau tidak peduli. Beliau lebih mencintai bangsa ini ketimbang mencintai perkumpulan politik yang disebut partai.
Mengapa partai diperebutkan?
Orang orang politik memperebutkan partai, karena partai tersebut menjanjikan keberuntungan. Dengan partai orang dapat menjadi calon presiden, dengan partai orang bisa mendapatkan jabatan menteri, dengan partai orang bisa, menjabat gubernur, bupati atau walikota. Bahkan dengan menjadi sebagai pengurus partai pendukung pemerintah, sudah menunggu jabatan sebagai komisaris BUMN dan dengan partai, para pegiatnya menjadi anggauta DPR, DPRD.
Semua jabatan tersebut tentu saja diperoleh dengan mengeluarkan biaya, dan bagian dari perolehannya juga ditagih oleh pengurus partainya. Ada aliran dana keluar dan masuk seperti sebuah industri tingkat menengah saja. Pada umumnya mereka yang telah mereguk kemewahan, jabatan dan uang dari partai, ingin menggenggam partai tersebut dengan erat dan tidak akan dilepaskan. Dan bagi mereka yang tidak memiliki partai, dengan segala cara ingin memperoleh suatu jabatan penting dalam partai itu. Untuk melakukan kongres atau MLB, tentu dikeluarkan beberapa milyar rupiah yang datang dari para sponsor dan simpatisan, selain sebagai biaya transportasi, juga sebagai uang saku, sebagai sogokan agar datang dan menyetujui susunan kepengurusan yang diinginkan oleh sponsor.
Orang-orang partai yang tersingkir dari kepengurusan karena berbagai sebab, misalnya pelanggaran AD/ART, menghadapi masalah hukum, ternyata masih tetap memiliki harapan untuk kembali atau membalas dendam kepada pengurus yang ada. Kelompok ini paling mudah diorganisir oleh pihak lain yang menginginkan kepemimpinan baru dalam partai itu. Ini benar-benar lahan perebutan keuntungan dengan partai sebagai sumber penghidupannya yang lebih cepat dan orang tersebut telah menikmati keuntungan material dari kedudukannya dalam partai tersebut. Sebagai contoh adalah seseorang, yang dahulu menjadi orang penting dalam sebuah partai, karena terlibat kasus korupsi yang bersangkutan dihukum penjara dalam waktu yang cukup lama. Tetapi yang bersangkutan masih tetap menginginkan partai tersebut untuk dapat meneruskan aktifitas politiknya. Di bebeberapa negara maju, orang orang seperti itu biasanya mengasingkan dirinya dari masyarakat atau memusatkan aktivitasnya pada lembaga-lembaga kemanusiaan dan amal untuk menebus kesalahan masa lalunya dan mencoba melupakannya melalui amal kebajikan. Sebaliknya di Indonesia, kelompok inilah yang paling banyak ikut serta dalam berbagai MLB partai tentu saja tujuannya untuk mencoba merebut kembali masa lalu yang indah dan mewah yang pernah dinikmatinya seraya melupakan dosa-dosa yang pernah diperbuatnya, tanpa merasa bersalah, tanpa rasa malu.
Emmanuel Macron, presiden Prancis, pada 2016 mendirikan partai. La Repblique En Marche. yang beraliran tengah kanan, padahal dia sedang menjabat sebagai salah seorang menteri dari kabinet partai sosialis yang telah lama memerintah di Prancis. Memang beliau dianjurkan keluar dari kabinet untuk membesarkan partainya, bukan dipecat menurut kebiasaan di negara ini. Kita sudah tahu bahwa asal usul demokrasi modern adalah Prancis, dan hal itu terus menerus dijaga oleh pemerintahnya. Pada usia 39 tahun Emanuel Macron menjadi presiden Prancis hingga sekarang. Hal seperti ini perlu saya ungkapkan sebagai sebuah perbandingan saja, karena di Indonesia mendirikan partai sangatlah sulit, karena para pemimpin partai yang ada di parlemen berusaha menghalangi partai baru dengan cara membuat undang-undang kepartaian dan undang-undang pemilu yang diperketat seperti dengan cara membuat parliamentary treshold, agar dikatakan konstitusional. Anehnya juga MK ikut serta tidak menghargai suara rakyat yang memilih sebuah partai, namun tidak bisa menjadi anggota parlemen walaupun sudah dipilih secara sah. Suara rakyat adalah suara Tuhan tinggal menjadi omong kosong belaka, atau dengan kata kasarnya suara rakyat adalah sampah karena tidak sesuai dengan ambang batas yang dibuat oleh tokoh-tokoh partai dominan, Ingat !.{Pemilu pertama 1955, adalah pemilu paling sukses yang diikuti oleh 53 partai}, tapi ingat juga pada umumnya MK mengikuti alur pikiran pemerintah, karena sebagian anggota hakim MK dipilih oleh DPR. Akibatnya sejumlah orang yang ingin berkuasa, ingin mereguk kemewahan sebagai anggota parlemen, atau pejabat negara seperti menteri, pejabat di lingkungan perusahaan negara yang makmur uang, mencari celah untuk memiliki, memimpin atau menguasai sebuah partai. Salah satu caranya yang cepat adalah dengan melakukan kudeta, seperti yang dialami oleh partai Demokrat dan partai partai lain sebelumnya.
Kudeta dan raja raja Jawa.
Kecuali bekas kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono, kerajaan lainnya telah tak ada lagi,tinggal ceritra yang dimuat dalam berbagai catatan seperti pararaton atau babad tanah jawi, catatan Belanda dan kitab-kitab ceritra lainnya yang sangat tersohor. Akan tetapi sangat menarik dewasa ini, bahwa sebagian besar tokoh politik dan partai di Indonesia didominasi oleh mereka yang berasal dari suku bangsa Jawa, seperti ketua partai Golkar, Partai PKB, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai PDI Perjuangan, partai Hanura dan lain lainnya. Demikian pula dari tujuh orang presiden Indonesia, 6 orang adalah suku bangsa Jawa, I orang Sulawesi walaupun menjabat sebagai presiden kurang dari dua tahun saja.
Di masa lalu persaingan merebut kekuasaan didalam kalangan istana kerajaan di Jawa sudah lumrah. Di kearajaan Singosari, pada tahun 1227, Tunggul Ametung seorang pemimpin di kerajaan Singosari dibunuh oleh pengawalnya sendiri, Ken Arok lalu mengawini isteri Tunggul Ametung yang tersohor kecantikannya Ken Dedes. Ken Arok dikemudian hari akhirnya dibunuh oleh Anusapati, anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Ken Dedes dalam keadaan hamil, ketika Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Tohjaya akhirnya dibunuh oleh Anusapati dari anak Ken Arok yng diperoleh dari isterinya Ken Umang. Demikianlah salah satu cara berpolitik untuk merebut kekuasaan dijaman kerajaan Singosari.
Di kerajaan Majapahit, terjadi juga berbagai pertentangan politik diantara raja-raja fazal, diantara sesama keluarga dan raja-raja yang lebih kecil. Semuanya untuk merebut kekuasaan. Salah satu contohnya adalah perang paregreg , perang saudara antara Wirabumi dan Wikramawardana, saudara sepupu sekaligus iparnya dari keturunan Hayam Wuruk. Semua pertempuran tersebut adalah untuk merebut kekuasaan di kerajaan Majapahit. Dalam era Majapahit, juga Adipati Tuban Ranggalawe pada 1295 melakukan pemberontakan. Kitab Pararaton juga menceritrakan pemberontakan Nambi, Pemberontakan Kuti dan sejumlah huru hara untuk merebut kekuaaan.
Sekalipun kerajaan kerajaan Hindu jawa yang disebutkan diatas telah berubah menjadi kerajaan Islam baik di pesisir (Demak) atau di pedalaman (Mataram), ternyata perebutan kekuasaan didalam sistim politik masa lalu kerajaan kerajaan Jawa terus berkecamuk. Kerajaan Demak yang diakui sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa juga tidak luput dari berbagai usaha perebutan kekuasaan. Perselisihan antara kakak beradik sultan Trenggono dan pangeran Suryowiyoto yang menyebabkan raja Prawoto putra sultan Trenggono membunuh Pangeran Suryowiyoto. Pada 1547, pangeran Prawoto dibunuh oleh Aria Panangsang putra dari Pangeran Sekar. Aria Panangsng akhirnya terlibat dalam perang dengan Jaka Tingkir adipati Pajang.
Di kerajaan Mataram juga tidak pernah sepi dari persaingan kekuasaan, terutama perebutan kekuasaan dilingkungan istana, baik dengan cara tersembunyi atau dengan cara terang terangan. Di era kerajaan Mataram, beberapa raja yang bersaing juga melibatkan pihak luar (yang kuat, dan yang berkuasa). Yang kuat dari luar contohnya adalah Trunojoyo, seorang politikus dari Madura, sedangkan yang berkuasa pada saat itu adalah VOC dilain pihak, ikut serta memainkan pertikaian perebutan kekuasaan dalam kerajaan kerajaan jawa, tentu saja untuk memperluas pengaruhnya di tanah jawa. Sebenarnya politik pecah belah (de vide et impra) bukan hanya dilakukan oleh Belanda saja, beberapa raja jawa juga melakukan hal yang sama dalam menanamkan pengaruhnya. Beberapa catatan tentang Gajahmada juga menyebutkan keterlibatannya secara tersembunyi dalam pertikaian dikalangan raja-raja Majapahit.
Salah satu peristiwa yang layak dipehatikan adalah bagaimana tingkah laku Adipati Anom (1670) yang berhasrat menggulingkan tahta ayahnya sendiri Amangkurat I (1645-1677), sepadan dengan masa jabatan presiden Soeharto selama 30 tahun lebih), Gerakan tersmbunyi Adipati Anom bisa jadi dicium oleh orang dekat raja. Sementara Trunojoyo (asal Madura) kekuatannya semakin mengkhawatirkan baik bagi Adipati Anom maupun Amangkurat, akhirnya kedua ayah dan anak bersatu untuk mengalahkan Trunojoyo, politikus asal Madura, dengan cara bekerjasama dengan Belanda (VOC). Beberapa catatan melukiskan Trunojoyo akhirnya dibunuh dengan kejam oleh Adipati Anom.
Raden Mas Alit juga melancarkan perlawanan pada kakaknya Amangkurat dengan alasan bahwa raja sangat lalim dan akhlaknya rusak, sering mengganggu perempuan dari isteri para pembantunya, sehingga dianggap merusak moral dan agama. Pertempuran ini adalah antara yang mempertahankan nilai-nilai agama dengan raja yang tidak mengindahkan nilai agama, perang ini termasuk perang suci karena berkaitan dengan pemurnian ajaran agama. Bandingkanlah dengan seperti apa yang terjadi akhir-akhir ini dengan penumpasan terhadap kelompok-kelompok yang berjuang atas nama moral agama. Peperangan di Mataram 1648 yang dimenangkan oleh Amangkurat I, melebar pada pembunuhan sekitar 6000 ulama dan keluarganya. Mereka dibunuh dilapangan dengan sangat kejam, karena para ulama dianggap ikut serta dalam gerakan perlawanan tersebut. Beberapa catatan Belanda juga menyebutkan bahwa pembunuhan ulama sangat kejam dan brutal, yang diperintahkan langsung oleh raja Islam Amangkurat I. Pembunuhan politik ini memperlihatkan sisi yang amat bertentangan dengan konsep belas kasihan dan saling menyayangi menurut ajaran Islam, semata mata untuk kepentingan kekuasaan dan politik kekuasaan. Tentu saja kita bertanya apakah perebutan Partai Demokrat oleh sekelompok orang bekas pengurus, lalu mengangkat Jendral Moeldoko sebagai ketuanya, memiliki persamaan dengan kejadian masa lalu dalam lingkungan raja-raja Jawa?. Terserah pandangan masing masing orang, namaun beberapa bagian dari pragmen sejarah masa lalu itu dapat saja dikaitkan dengan kejadian dewasa ini. Sebenarnya setiap suku bangsa melahirkan generasinya dengan membawa watak tradisi nenek moyangnya. Memang ada bagian bagain yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan, perkembangan jaman, hubungan antar bangsa, tetapi watak dasarnya pasti tetap berada dalam lubuk hati semua manusia, seperti kita lihat pada adat istiadat, bahasa dan budayanya termasuk prilaku politiknya. Orang-orang Jawa di Suriname, di Kaledonia baru, atau orang Arab Indonesia, orang India di Malaysia dan orang Cina perantauan di seluruh dunia, mereka akan tetap mepertahankan identias budayanya melalui bahasa, adat istiadat dan prilaku politiknya baik dengan cara terbuka atau tertutup, baik dilakukan sendiri atau dengan cara berkomplot.
Jokowi dan pengaruh politiknya
Jokowi telah mencapai puncak kejayaan politiknya sebagai penguasa tertinggi negara ini. Beliau berjaya dengn sangat lancar dan indah. Beliau memulai kariernya sebagai wali kota, sebagai gubernur DKI dan kemudian sebagai presiden negeri ini. Beliau memiliki impian untuk memajukan bangsanya dengan cepat, walaupun beliau akan terbentur dalam keterbatasan waktu berkuasa menurut Undang-undang Dasar. Tetapi demikianlah seorang presiden, pasti memiliki impian agar beliau dikenang sebagai presiden yang menggagas sesuatu yang dari tidak ada menjadi ada.
Presiden Jokowi, bukanlah keturunan raja-raja Jawa seperti yang sudah saya uraikan diatas. Beliau bukanlah seorang jendral atau laksamana dari angkatan bersenjata manapun. Beliau benar-benar seorang politisi yang cerdas. bukan karena menjadi ketua partai atau perkumpulan apapun. Beliau adalah pemimpin yang datang dari rakyat, tanpa perlu mendirikan partai atau merebut partai lain untuk dijadikan tunggangan?,
Para jendral yang berkumpul disekeliling Jokowi adalah pejabat biasa, dibawah perintah presiden, Bahkan para ketua partai yang ada disekitar Jokowi adalah pejabat biasa yang berada dibawah perintah beliau, kecual beberapa gelintir partai yang mencoba membuat dirinya menjadi oposisi, walaupun mereka tahu bahwa sistim tata negara kita tidak mengenal istilah oposisi. Apapun alasan seseorang yang merebut kekuasaan dari sebuah partai, pasti mereka adalah kelompok yang lemah, karena tak mampu mendirikan partai sendiri, seperti Emmanuel Macron, atau Surya Paloh, atau Prabowo Subianto, atau Amin Rais, atau Fahri Hamzah, atau Wiranto, atau Edi Sudrajat. Terserah partainya akan berhasil atau tidak tetapi mereka telah menjaga kehormatannya untuk memperjuangkan visinya melalui partai yang dibuatnya sendiri.
Apakah Jokowi terlibat?
Banyak spekulasi, bahwa kudeta partai demokrat oleh Moeldoko atas saran dan keterlibatan presiden Jokowi. Tentu saja saya berbeda pendapat dalam hal ini, karena untuk apa Jokowi menambah partai yang mendukungnya? Beliau orang terkuat di republik ini, beliau tidak dapat diturunkan bahkan oleh semua partai. Negara kita bukan parlementer tetapi presidensil, lalu untuk apa beliau menambah partai pendukungnya?. Ini adalah analisa saya, tapi boleh saja pihak lain memberi pendapat yang berbeda. Lalu timbul pertanyaan, apakah Jokowi tidak memiliki rencana untuk mendorong putranya atau menantunya agar mengikuti jejaknya menjadi pemimpin di negeri ini?. Bisa jadi setiap pemimpin ingin meneruskan visinya yang belum selesai, lalu menggantungkan harapannya pada kerabat dekatnya, dengan mana kerabat dekatnya dapat mengikuti cita-cita orang tuanya dan orang tuanya sementara akan menjadi mentornya, Mungkin hal inilah maka para pemimpin partai di Indonesia juga mendorong anaknya agar meneruskan memimpin partai, seperti Prananda Paloh, AHY, Puan, dan lain lainnya. Semua hal tersebut pasti tidak salah, yang salah adalah jalan pintas untuk meraih kekuasaan dengan merebut partai dari tangan orang lain, seperti juga kekerasan dalam banyak kasus dari raja-raja Jawa terdahulu. Seandainya dugaan diatas benar, maka orang yang merebut partai itu tetap adalah orang lemah, apalagi jika hal tersebut atas arahan dan pengaruh orang lain.
Dari para elit politik Indonesia dan pimpinan partai partai dominan di negeri ini masih dikuasai oleh suku bangsa Jawa (PDIP, GOLKAR, GERINDRA, PKB, DEMOKRAT). Demikian pula para jendral politisi seperti SBY asal Pacitan Jawa Timur, Muldoko asal Kediri di Jawa Timur, Jendral Wiranto dan jendral Hendropriono asal Yogyakarta. Demikian pula Prabowo Subianto, walaupun beliau lahir di Jakarta (1951), tetapi semua orang tahu, bahwa beliau dilahirkan dari ayah seorang Jawa. Mereka semua berasal dari daerah yang dimasa lalu, terdapat kerajaan-kerjaan Jawa yang tak pernah sepi dari pergumulan politik yang disertai dengan perebutan kekuasaan atau kudeta, Pergumulan politik sampai pada pepecahan partai partai sebenarnya juga terjadi dimasa lalu, hanya motifnya agak berbeda, seperti pecahnya PNI menjadi Partindo dan PNI baru, pecahnya Syarikat Islam menjadi Syarikat Islam Merah. Baik Soekarno sebagai pendiri PNI, maupun HOS Tjokroaminoto pendiri Syarikat Islam adalah orang-orang Jawa yang sangat berjasa bagi bangsa dan negara ini. Perpecahan partai dimasa lalu, berkisar dalam ranah ideologi yang dianut, atau soal metode kerjasama dengan pemeintah jajahan, apakah kooperatif atau non kooperatif. Akhirnya bagaimanapun, suku bangsa lain di Indonesia harus banyak belajar hal hal yang baik dari suku bangsa Jawa. Demikian pula suku bangsa Jawa hendaknya dapat belajar hal hal yang baik dari suku bangsa yang lain di Indonesia, agar melebur menjadi Indonesia yang kuat bukan dominasi yang kuat terhadap sesama suku bangsa yang lain.
Senggigi 10 Maret 2021
Ali Dachlan,.
0 Komentar